RUU Ormas Mengancam Umat
Kembalinya Pemerintahan Represif
Kengototan DPR
dan Pemerintah untuk segera mengesahkan RUU Ormas menjadi UU paling lambat
akhir Maret 2013 ini menimbulkan banyak tanda tanya. Ada kepentingan apa
sehingga DPR dan Pemerintah begitu ngototnya? Padahal banyak RUU yang mangkrak.
Apalagi banyak sekali penolakan terhadap RUU Ormas di masyarakat. Pada 8
Februari 2013 lalu, sebanyak 96 organisasi yang tergabung dalam KASBI
menyatakan penolakan terhadap RUU Orams dan menuntut agar RUU itu dicabut dan
dihentikan pembahasannya.
Jika dicermati
dari draft RUU Ormas versi (bahan rapat panja 9 Februari dan bahan panja 18
Februari 2013) yang hendak disahkan oleh DPR menyimpan ancaman dan bahaya bagi
rakyat khususnya umat Islam. RUU ini jika disahkan bisa dijadikan alat represi
baru alat Orde Baru, bisa dijadikan alat membungkam perjuangan umat Islam,
mengebiri peran umat di masyarakat. Disamping itu juga akan menimbulkan masalah
hukum dalam implementasinya.
Diantara masalah
yang terkandung dalam RUU Ormas itu adalah:
1.
RUU Ormas ini sarat dengan spirit represif.
Sangat terasa adanya keinginan atau bahkan
nafsu represi untuk mengekang masyarakat. Hal itu dituangkan dalam definisi
Ormas, asas, syarat pendaftaran, pengaturan bidang kegiatan, larangan dan
sanksinya.
2.
RUU ini ingin menghidupkan kembali trauma
fitnah Orde baru melalui asas tunggal.
RUU ini (versi bahan panja 18 Februari)
mengharuskan semua Ormas tanpa kecuali untuk berasaskan Pancasila. Keinginan
pengasastunggalan itu disamarkan dengan tambahan baha Ormas boleh mencatumkan
asas lain yang tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Dalam pasal 2
dinyatakan: “Asas Ormas adalah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia 1945, serta dapat mencantumkan asas lainnya yang tidka
bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
1945.” Ini adalah kemunduran dari draft awal yang menyatakan pada pasal
yang sama: “asas Ormas tidak boleh bertentangan dengan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonsia 1945.” Padahal asas tunggal
itu telah menimbulkan trauma bagi masyarakat. Ketetatapan penentuan asas Ormas
itu artinya menghidupkan kembali spirit asas tunggal yang dahulu dijdikan alat oleh
Orde Baru utnuk mengekang masyarakat. Padahal sejak reformasi spirit itu sudah
dibatalkan oleh TAP MPR no. XVIII/1978 yang membatalkan TAP MPR no. II/1978
yang menghidupkan spirit asas tunggal. Maka dengan mengembalikan spirit asas
tunggal, itu adalah butki DPR dan Pemerintah masih menyimpan spirit represi
atau bahkan memang ingin kembali bertindak represif seperti Orde Baru. Hal itu
juga akan kembali membangkitkan trauma masyarakat dan fitnah akibat asas
tunggal itu bisa saja terulang kembali. Juga bahwa itu merupakan kemunduran
dari reformasi.
3.
RUU ini mengandung kesan “pembalasan” terhadap
Ormas.
UU Parpol, tidak secara jelas mengusung spirit
asas tunggal. Kenapa RUU Ormas justru mengusung spirit asas tunggal itu ala
Orba? Apakah ini menjadi semacam “pembalasan” Partai Politik terhadap Ormas
yang selama ini bersikap kritis terhadap Parpol, DPR dan Pemerintah?
4.
Definisi Ormas yang sangat umum mencakup semua
organisasi di masyarakat.
Pada pasal 1 ayat 1 dinyatakan definisi Ormas
adalah: “…“…organisasi yang
didirikan dan dibentuk oleh masyarakat secara sukarela berdasarkan kesamaan
aspirasi, kehendak, kebutuhan, kepentingan, kegiatan, dan tujuan untuk
berpartisipasi dalam pembangunan demi tercapainya tujuan NKRI yang berdasarkan
Pancasila”. Definisi ini akan
memasukkan semua organisasi di masyarakat (kecuali Parpol dan organisasi sayap
Parpol) bersifat sosial atau nonprofit, asosiasi atau perkumpulan
keilmuan/profesi/hobby baik beriuran ataupun tidak, pengajian, paguyuban
keluarga, yayasan yang mengelola lembaga pendidikan dan rumah sakit, panti
asuhan, dan masih banyak lagi. Ini menunjukkan keinginan untuk mengontrol
hampir semua dinamika organisasi di masyarakat. Hal itu akan tampak jelas
ketika cakupan definisi ini dihubungkan dengan ketentuan pendaftaran ormas,
pengawasan ormas, sanksi dsb.
5.
RUU deskriminatif.
Jika definisi Ormas serba mencakup dan
menunjukkan keinginan agar tidak ada organisai di masyarakat yang luput dari
kontrol, sebaliknya RUU Ormas itu justru mengecualikan organisasi sayap Parpol. Pada Pasal 4 yang dikatakan: “Ormas bersifat sukarela, sosial, mandiri,
nirlaba, demokratis, dan bukan merupakan organisasi sayap partai politik”. RUU Ormas akan mengatur Ormas dengan sangat detil,
tentang pendirian, tata kelola internal, akuntabilitas
dan transparansi, larangan, hingga sanksi. Sangat jauh berbeda dengan pengaturan organisasi sayap partai politik hanya
disebut dalam satu kalimat di dalam UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai
Politik: “Partai politik berhak….membentuk dan memiliki organisasi
sayap partai” (Pasal 12 huruf j). Lantas, mengapa organisasi sayap partai politik dikecualikan secara
eksplisit dari RUU Ormas? Dengan dikecualikan, artinya organisasi sayap parpol tidak diatur
dengan RUU ini. Namun pada saat yang sama, organisasi sayap parpol itu tidak
bisa dianggap sebagai parpol dan terhadapnya juga tidak bisa diberlakukan UU
Parpol. Lalu aturan apa yang secara spesifik mengatur organisasi sayap parpol. RUU
Ormas tidak, UU Parpol tidak, UU Yayasan tidak, UU Perseroan tidak.
6.
RUU Ormas membungkam sikap kritis
Pasal 7 tentang bidang kegiatan Ormas, tidak
ada bidang politik. Itu artinya Ormas tidak boleh melakukan kegiatan dibidang politik.
Politik dalam KBBI diantaranya diartikan “1. segala urusan dan tindakan
(kebijakan, siasat, dsb) mengenai pemerintahan negara atau terhadap negara
lain; 2. kebijakan; cara bertindak (dalam menghadapi atau menangani suatu
masalah).” Dengan begitu sama artinya, Ormas tidak boleh melakukan aktifitas
politik, tidak boleh mengkritisi kebijakan pemerintah, tidak boleh demonstrasi
mengkritisi kebijakan pemerintah, dan aktifitas-aktifitas politik lainnya.
7.
RUU Ormas untuk akuntabilitas Ormas?
Pasal 38 (2): keuangan Ormas sebagaimana
dimaksud ayas (1) harus dikelola secara transparan dan akuntabel. Lalu Pasal 39
(1): Dalam hal Ormas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1) huruf a dan
huruf b menghimpun dan mengelola dana dari anggota dan masyarakat, Ormas wajib
membuat laporan pertanggungjawaban keuangan sesuai dengan standar akuntansi
secara umum atau sesuai dengan AD dan/atau ART.
Pasal ini tidak menjelaskan, laporan
pertanggungjawaban yang wajib dibuat itu diserahkan kepada siapa? Jika harus
diserahkan kepada Pemerintah, mau diapakan oleh pemerintah, apa konsekuensi
dari laporan itu jika diserahkan kepada pemerintah? Jika dana itu dari APBN,
APBD atau asing wajar saja harus dilaporkan pertanggungjawabannya kepada
Pemerintah. Tapi jika berasal dari anggota, untuk apa harus dilaporkan kepada
pemerintah?
Jika begitu, benarkah RUU ini untuk
transparansi dan akuntabilitas Ormas? Apakah belum ada aturan yang mengatur
tentang transparansi dan akuntabilitas Ormas sehinggaharus dibuat aturan
tentang hal itu? Bukankah sudah ada aturan terkait yayasan di dalam UU tentang
Yayasan? Juga sudah ada aturan di UU Keterbukaan Informasi Publik.
8.
Persyaratan Administrasi
Menjadi Instrumen Penghambat Keleluasaan Berserikat dan Berkumpul.
Ada pasal 16 diatur bawha Ormas tidak berbadan hukum harus mendapatkan Surat
Keterangan Terdaftar (SKT) dari Pemerintah (Menteri, Gubernur, atau
Bupati/Walikota) agar bisa menjalankan aktivitasnya. Sementara untuk
mendapatkan selembar SKT, Ormas harus memenuhi persyaratan administrasi seperti
memiliki AD/ART atau akta pendirian yang dikeluarkan oleh notaris yang memuat
AD/ART, program kerja, kepengurusan, surat keterangan domisili, Nomor Pokok
Wajib Pajak (NPWP) atas nama Ormas, surat pernyataan bukan organisasi sayap
partai politik, surat pernyataan tidak dalam sengketa kepengurusan/perkara
pengadilan, dan surat pernyataan kesanggupan melaporkan kegiatan. Masalahnya, cakupan definisi
Ormas begitu luas. Dengan ketentuan ini, maka semua organisasi (kumpulan orang
yang berkelompok yang didalamnya ada pengurus betapapun sederhana strukturnya)
harus memiliki SKT. Itu rtinya, kelompok arisan, majelis taklim, paguyuban dan
organisasi lainnya harus mendapat SKT untuk bisa beraktifitas. Jika tidak punya
SKT maka tidak boleh melakukan kegiatan. Ketentuan ini selah mengatakan,
silahkan berserikat dan berkumpul asal memiliki SKT yang ditentukan oleh
Pemerintah. Jadi sama saja mengatakan, silahkan berserikat dan berkumpul asal
mendapat persetujuan dari pemerintah.
9.
RUU ini meletakkan semua bentuk kegiatan
berserikat dan berkumpul dibawah kontrol Pemerintah dalam hal ini Kesbangpol
Kemendagri.
RUU ini membawa semua Organisasi baik berbadan
hukum (yayasan dan perkumpulan) atau tidak berbadan hukum, dengan semua
ragamnya, berada dalam kontrol dan pengawasan pemerintah (Kesbangpol
Kemendagri). Pengawasan Pemerintah (Pasal 58) berupa pemantauan dan evaluasi. Selanjutnya
hasil pemantauan dan evaluasi itu akan dijadikan dasar tindakan terhadap Ormas.
Jika melanggar larangan (Pasal 61) yang kriteria dan tolok ukurnya tidak jelas
dan longgar, bisa dijatuhi sanksi oleh pemerintah tanpa harus melalui putusan
pengadilan. Itu artinya, semua organisasi di masyarakat akan dikontrol oleh
pemerintah agar bisa sesuai dengan keinginan Pemerintah. Ini akan mengembalikan
kontrol dan represi Orba yang sudah susah payah direformasi.
10. RUU Ormas Memuat Pasal Serangkaian Larangan yang Multitafsir (Pasal 61)
RUU Ormas memuat serangkaian larangan multi tafsir dengan tolok ukur
dan kriteria yang tidak dijelaskan batasannya. Hal itu berpeluang untuk disalahgunakan sesuai selera penguasa.
Pasal 61 (3) c: “Ormas dilarang menerima sumbangan berupa uang, barang, ataupun jasa dari pihak mana pun
tanpa mencantumkan identitas yang jelas.” Pasal larangan ini mengancam keberadaan organisasi
sosial dan organisasi keagamaan semisal yayasan yatim piatu, panti suhan, yang
biasa menerima donasi tanpa identitas jelas. Pada sisi lain, sangat banyak
anggota masyarakat yang ketika memberikan donasi tidak mau mencantumkan nama
asli dengan alasan tertentu. Dengan larangan ini, kegiatan pengumpulan donasi
di jalan-jalan misalnya untuk membantu korban bencana, untuk membangun
fasilitas umum, masjid dan sebagainya, tidak bisa lagi dilakukan kecuali
pemberi donasi mencatumkan identitas yang jelas. Larangan ini akan bisa
mematikan jiwa filantropi masyarakat Indonesia.
Berikutnya, kegiatan yang membahayakan keutuhan dan
keselamatan NKRI; menyebarkan permusuhan antrasuku, agama, ras dan golongan;
memecahbelah persatuan dan kesatuan bangsa; mengganggu ketertiban; srianya, dan
siapa yang memutuskan? Dalam RUU Ormas tidak jelas. JIka dikaitkan dengan pasal
58 tentang bentuk pengawasan oleh Pemerintah dan pasal 62 tentang sanksi, dapat dipahami bahwa smeua itu tergantung kepada
Pemerintah. Jika demikian, sikap kritis kepada pemerintah, Ormas yang
membongkar kejahatan negara, dan sebagainya bisa dianggap membahayakan
keselamatan negara; atau dianggap melakukan kegiatan yang mengancam,
mengganggu, dan/atau membahayakan keutuhan dan kedaulatan NKRI.
Pasal 61 (6) “Ormas dilarang
melakukan kegiatan apabila tidak memiliki seurat pengesahan badan hukum atau
tidak terdaftar pada pemerintah atau pemerintah daerah.” Sementara Ormas yang
tidak memenuhi syarat menapat SKT harus memberitahukan keberadaannya kapada
pemerintahan setempat sesuai domisilinya. Lalu apa artinya memberitahukan
keberadaannya kalau tidak boleh beraktifitas?
11. Pemerintah Memegang Kekuasaan Menjatuhkan Sanksi Bagi
Ormas (Pasal 62-63)
Kekuasaan menjatuhkan sanksi berada di tangan
pemerintah (atau pemerintah daerah), mulai dari sanksi administratif berupa surat peringatan tertulis, penghentian bantuan atau hibah, hingga sanksi
penghentian kegiatan
(sementar) dalam waktu paling lama
1 (satu) tahun, pencabutan SKT, dan pencabutan pengesahan badan hukum.
Peradilan baru dilibatkan oleh pemerintah (atau pemerintah daerah) pada saat
menjatuhkan sanksi pembubaran ormas berbadan hukum. Selain hal
itu, semuanya tergantung pada pemerintah. Ini membuka peluang disalah gunakan
demi kekuasaan dan bisa melahirkan kembali represi pemerintah, sebab semua itu
dikaitkan dengan larangan pada pasal 61 yang tolok ukur dan kriterianya sangat
longgar dan bisa tergantung pada selera pemerintah.
Dengan demikian,
RUU Ormas itu akan menjadi ancaman bagi umat. Juga kan menjadi pintu kembalinya
pemerintahan otoriter, pemerintahan represif. Fitnah-fitnah terhadap Ormas dan
kelompok masyarakat yang pernah terjadi pada masa Orde Baru yang telah
menimbulkan trauma di masyarakat mungkin sekali akan kembali. Atas dasar semua
itu, maka RUU Ormas ini harus dihentikan pembahasannya dan ditolak. Wallâh
a’lam bi ash-shawâb. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar