Selasa, 26 Maret 2013

Balas Kejahatan Orang Lain Dengan Kebaikanmu

Tolaklah Kejahatan dengan Yang Lebih Baik

Oleh : Felix Siauw

Sering kesal karena anda adalah pejalan kaki dan penikmat angkot harian, lalu menemukan angkot langganan anda ngetem lama hingga mengganggu jadwal yang sudah anda usahakan ditepati? Atau anda pengguna kendaraan roda dua atau empat yang hampir celaka lalu lintas karena angkot tetiba berhenti didepan mata, parkir di dua lajur diantara tiga lajur jalan, atau mengambil-menurunkan penumpang ditengah marka?

Anda tidak sendiri, saya rasa jutaan orang berpendapat yang sama.
Di republik ini —saya nggak tahu di tempat lain—, kesewenang-wenangan memang merajalela. Tiada peduli kaya ataupun miskin. Bila yang kaya seolah boleh sombong karena kekayaannya, maka yang miskin juga merasa yang sama. Karena merasa dirinya ‘wong cilik‘ atau ‘orang susah’ jadi seolah-olah menjustifikasinya melakukan apa saja semaunya, merasa punya hak untuk dzalim.
Karena susah, lantas merasa pantas untuk meminta-minta, boleh untuk bertindak semaunya, layak untuk berbuat seenaknya. Ini betul-betul mental yang buruk, tiada bedanya dengan orang kaya yang sombong karena hartanya.
Bila yang kaya memarkir kendaraannya sembarang tempat dengan legitimasi ‘kekayaannya’, maka yang miskin pun tak mau kalah dengan memarkir kendaraannya disembarang tempat karena legitimasi ‘kemiskinannya’. Tampaknya kita sudah mulai kehilangan rasa malu.
Bila yang kaya membuang sampah sembarangan karena merasa sudah ‘membayar’, maka yang miskin pun tidak mau kalah dengan membuang sampah sembarangan karena merasa ‘tidak mampu membayar’
Karena anda ‘wong cilik‘ atau ‘wong susah’, tidak lantas anda boleh merasa arogan.
Tapi itulah yang terjadi pada ummat Muslim di negeri ini. Seolah arogan menjadi boleh jika kita merasa tertindas, merasa kecil. Atau lebih tepatnya, merasa boleh bermaksiat sebagai balasan atas terdzaliminya diri kita.
Membalas yang serupa, atau yang lebih daripadanya. Mungkin ini mental buruk yang masih kita simpan, penanda hati yang mulai membusuk.
Seorang sopir angkot mungkin —mungkin— menganggap tindakannya ugal-ugalan di jalan, parkir dan ngetem memakan seluruh badan jalan, adalah tindakan yang benar. Sebagai balasan atas tertindasnya dirinya. Sama seperti orang kaya yang memarkir sembarangan kendaraan mewahnya karena merasa itu adalah balasan atas pajak yang dia bayarkan.
Perilakunya berdasar ide yang sama. Membalas.
Lucunya, perilaku ini bahkan hadir ditengah kelompok manusia istimewa diantara yang teristimewa, ialah pengemban dakwah. Seringkali diantara kita merasa boleh berkata kasar pada yang lainnya, mencela dan memaki tanpa henti, mengolok-olok dan mencaci. Hanya karena kita merasa sudah didzalimi.
Membalas yang sepadan, kalau bisa lebih menyakitkan. Bukankah itu idenya?
Padahal Allah telah ingatkan kita dalam Al-Qur’an dengan sebuah nasihat yang berlaku hingga akhir zaman
وَلا تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلا السَّيِّئَةُ ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ وَمَا يُلَقَّاهَا إِلا الَّذِينَ صَبَرُوا وَمَا يُلَقَّاهَا إِلا ذُو حَظٍّ عَظِيمٍ

Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang diantaramu dan dia ada permusuhan, seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar. (TQS Fushilat [41]: 34-35)
Tidak akan selesai dengan kebaikan orang-orang yang membalas kejahatan dengan sepadan atau dengan yang lebih menyakitkan. Jelas itu bukan cara Islam.
Membalas perlakuan serupa hanya menempatkan diri kita dalam tingkatan yang sama rendahnya, bukan amal yang luhur sebagaimana digariskan Islam, dan dicontohkan Rasulullah saw. Membalas perlakuan lebih menyakitkan tidak akan memberikan sebuah penyadaran, bahkan justru membuat mudharat yang lebih besar lagi.
Walau kita disakiti dan didzalimi oleh saudara seiman, hak saudara kita tetap lisan yang baik dan amal yang indah dari kita. Tiada terkotori oleh rasa dendam dan rasa ingin membalas. Wangi perbuatan inilah yang diajarkan oleh Nabi saw pada ummatnya.
تعرض الأعمال كل يوم اثنين وخميس، فيغفر الله عزَّ وجلَّ في ذلك اليوم لكل امرئ  لا يشرك بالله شيئاً إلا امرأ كانت بينه وبين أخيه شحناء فيقول: انظروا هذين حتى يصطلحا

Amal perbuatan diperlihatkan (dihadapan Allah) setiap hari senin dan kamis, kemudian pada hari itu Allah Azza wa Jalla mengampuni dosa setiap orang yang tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Kecuali orang yang terdapat diantara dia dan saudaranya sebuah permusuhan, Allah berfirman: “Tangguhkanlah dari kedua orang ini hingga keduanya berdamai” (HR Muslim)
Seseorang mencela Imam As Sya’bi, lalu As Sya’bi mejawab: “Bilamana engkau berbohong, semoga Allah mengampunimu, namun bila engkau benar, semoga Allah mengampuniku”
Tidak sulit “menolak kejahatan dengan cara yang lebih baik”. Karena sesungguhnya syaitan bersemayam dalam tindakan kasar kepada sesama, dan lisan buruk yang terucap dari lisan. Tanpa kita sadari amal kita dibakar habis api hasud dan meninggalkan debu yang kelak disapu angin waktu. Atau lebih parah lagi amal kita sudah disita ghibah dan kata-kata kasar, meninggalkan kita dengan hutang dosa yang kelak dibayar dengan menindihkan diri atas dosa orang lain. Tiada guna balas membalas dalam keburukan. Tiada manfaat balas membalas bahkan dengan yang lebih buruk.
Jadilah pemaaf. Jadilah orang yang bertanggung jawab atas diri kita. Bukan pelaknat dan karenanya kita dicatat sebagai yang terlaknat.
Patut dicatat, pada saat Perang Uhud, kaum Muslim banyak yang gugur, bahkan wajah Rasulullah terluka tersayat pedang. Darah bercucuran dan satu gigi beliau tanggal terkena tombak musuh. Pada saat itu, ada sebagian sahabat yang berkata, “Ya Rasulullah, berdoalah untuk kebinasaan orang-orang musyrik.”
Dengan suara lirih menahan rasa sakit, beliau menjawab, “Tidak, aku bukan tukang laknat. Sesungguhnya aku diutus sebagai pembawa rahmat” (HR Muslim)
Biarlah orang lain bertindak dzalim, maka tugas kita menasihati bukan melaknati, memberikan keterangan bukan membalas yang sepadan, menampilkan kebaikan bukan justru menyakitkan.
Dan bila urusan ‘balas-membalas keburukan ini bisa selesai’. Mudah-mudahan karena kita lantas orang-orang terinspirasi. Dari yang mulia hatinya karena mengemban Islam orang bisa mengambil tauladan. Karenanya tersebarlah Islam, dan mulialah agama.
Akal bisa diajar dengan dalil, namun hati hanya dengan akhlak bisa diambil. Bersikaplah mulia, dan mudah-mudahan Allah ganjar dengan surga. [www.al-khilafah.org]
Follow @felixsiauw

Istana Sang Khalifah

Istana Sang Khalifah

Seorang utusan Romawi tengah mencari istana Khalifah Umar bin Khattab untuk sebuah urusan. Setelah beberapa saat tak menemukan istana tersebut, ia akhirnya bertanya kepada orang-orang. Saat ia menanyakan di mana istananya, mereka menjawab: "Ia tidak punya istana." Lalu, ia bertanya di mana bentengnya. "Tidak ada," jawab mereka.

Kemudian, mereka menunjukkan rumah Sang Khalifah yang terlihat seperti rumah kaum tak berpunya. Lantas, ia mendatanginya dan menanyakan keberadaan Amirul Mukminin. Alangkah terkejutnya ia saat mendengar jawaban dari keluarga Umar: "Itu dia di sana sedang tertidur di bawah pohon."

Tentu bukan tanpa alasan bagi seorang dengan gelar Amirul Mukminin (pemimpin kaum Mukmin) yang kekuasaannya terbentang dari Mesir sampai Irak untuk memilih sebatang pohon sebagai istananya.

Selain agar rakyat dapat dengan mudah menemui dan mengadu padanya, juga karena ia mempelajari hal itu dari Sang Teladan, Nabi Muhammad SAW.

Dahulu, Umar pernah menemui Nabi SAW ketika beliau bangun dari pelepah kurma tempatnya berbaring. Umar melihat guratan pelepah kurma membekas di punggung Nabi SAW. Ia pun menangis. Dengan lembut Nabi SAW bertanya: "Apa yang membuatmu menangis?" Umar menjawab: "Wahai Rasulullah, sungguh Raja Kisra dan Kaisar Romawi dalam keadaan (kafir). Mereka (bergelimang harta), sedang Engkau ialah Utusan Allah (tetapi tidak memiliki apa-apa)." Dengan bijak Nabi SAW bersabda: "Wahai Umar, tidakkah engkau rida jika mereka mendapat dunia dan bagi kita akhirat?" Pelajaran ini tidak pernah dilupakan oleh Umar seumur hidupnya.

Umar bukannya tidak mampu untuk membangun istana atau hidup mewah bak seorang raja. Tetapi, Umar lebih memilih kesederhanaan sebagai perhiasan dirinya.

Bagaimana tidak, ia adalah khalifah yang memperoleh gaji hanya sebatas kebutuhan pokoknya, memakan roti yang hampir mengeras, dan memiliki dua belas tambalan pada pakaian lusuhnya. Ia adalah pemimpin yang bergantian mengendarai keledai bersama budaknya dalam penaklukkan Kota Al-Quds.

Sungguh, Umar telah mengajarkan kepada kita bahwa menjadi pemimpin tak harus bergelimang fasilitas. Maka, ia pun tidak pernah menuntut berbagai fasilitas untuk tugas kepemimpinannya. Karena ia tahu, fasilitas-fasilitas yang ia nikmati tidak lain hanyalah ujian yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah kelak. Wallahu 'alam bish shawab. (republika.co.id)

Kisah Para Khalifah Soal Gaji Mereka

Kisah Para Khalifah Soal Gaji Mereka

Jakarta - Di tengah himpitan ekonomi dan berbagai masalah korupsi mafia hukum di Indonesia, pemimpin masih saja ada yang mengeluhkan soal kenaikan gaji.

Padahal bila bercermin dari sejumlah kisah para sahabat Nabi Muhammad SAW yang menjadi khalifah, banyak hikmah yang bisa diambil oleh pemimpin di Indonesia.

Khalifah Abu Bakar RA

Khalifah pertama, Abu Bakar RA, baru saja diangkat menjadi khalifah. Keesokan harinya Abu Bakar tetap berdagang ke pasar. Umar bin Khattab yang melihatnya tentu heran dan mengingatkan Abu Bakar kalau ia sekarang sudah menjadi pemimpin negara.

Abu Bakar menjawab, dia tetap harus bekerja untuk mempertahankan hidup keluarganya. Mendengar jawaban itu, barulah Umar dan sahabat lainnya berembuk untuk menggaji Abu Bakar. Hingga akhir hayatnya, Abu Bakar meninggalkan harta satu sprei tua dan seekor unta yang merupakan kekayaan negara. Unta itu pun dikembalikan ke kas negara dan digunakan oleh penggantinya, Umar.

Di lain waktu, ada kisah lagi tentang istri Abu Bakar yang ingin membeli sedikit manisan. Namun Abu Bakar mengatakan dirinya tidak punya uang yang cukup untuk membeli manisan. Pasangan inipun sepakat untuk menghemat uang belanja mereka untuk ditabung membeli manisan.

Setelah beberapa hari menabung, terkumpullah uang untuk manisan tersebut. Istri Abu Bakar menyerahkan uang itu ke suaminya untuk dibelikan manisan. Alih-alih membeli manisan, Abu Bakar malah berkata ke istrinya, kalau ternyata harta mereka masih berlebih hingga sanggup membeli manisan. Abu Bakar dan istrinya tak jadi membeli manisan, mereka menyerahkan uang dari tabungan itu ke Baitul Mal.

Khalifah Umar bin Khattab

Ketika Umar sudah berkuasa beberapa waktu, Ali bin Abu Thalib dan sejumlah sahabat sepakat untuk menaikkan gaji Umar yang sudah menjadi khalifah. Namun, mereka enggan menyampaikan langsung ke Umar karena sungkan dan takut Umar marah. Akhirnya, Ali dan para sahabat menemui putri Umar, Hafsah, memintanya untuk memberitahukan ke ayahnya.

Hafsah setuju. Namun usulan naik gaji itu ditolak mentah-mentah oleh Umar. Umar dengan marah meminta Hafsah untuk memberitahu siapa yang mengusulkan dia menerima kenaikan gaji. Ia ingin memberi pelajaran kepada pengusul kenaikan gaji itu.

Umar kemudian meminta Hafsah menceritakan bagaimana Nabi Muhammad SAW sewaktu menjadi khalifah. Kata Hafsah, Rasulullah hanya mempunyai dua pasang baju, selembar kain kasar untuk alas tidur, makan roti dengan tepung kasar yang dicampur garam.

Umar berkata pada Hafsah, bahwa Rasulullah dan Abu Bakar RA telah memberi contoh bagaimana hidup sederhana seorang khalifah. Maka Umar akan mengikuti contoh kedua tokoh tersebut.

Khalifah Umar bin Abdul Aziz

Khalifah Umar bin Abdul Aziz terkaget-kaget ketika ia mendapat sepotong roti hangat dan harum dari istrinya. Kontan saja Umar bertanya, darimana asal roti lezat itu. Istrinya menjawab kalau roti itu dibuat dari upayanya menyisihkan uang belanja.

Umar lantas meminta Baitul Mal memotong gajinya setara dengan biaya pembuatan roti itu. Umar mengatakan pada istrinya, kalau ia akan mengganti harga roti itu karena ia merasa telah memakan harta umat demi kepentingan pribadi. (republika)

Pesan Penting Bagi Anda yg Punya Kebiasaan Buruk Makan/Minum Sambil Berdiri

Hikmah Rasulullah SAW Melarang Ummatnya Makan / Minum Sambil Berdiri!


عن أنس وقتادة رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه و سلم ” أنه نهى أن يشرب الرجل قائماً قال قتادة : فقلنا فالأكل ؟ فقال : ذاك أشر و أخبث


Dari Anas dan Qatadah radhiallaahu ‘anhuma, dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam :
“Sesungguhnya beliau melarang seseorang minum sambil berdiri”.
Qotadah berkata:”Bagaimana dengan makan?” beliau menjawab: “Itu lebih buruk lagi”. (HR. Muslim dan Turmidzi)

Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :

لا يشربن أحدكم قائما ، فمن نسي فليستقئ

“Jangan kalian minum sambil berdiri ! Apabila kalian lupa, maka hendaknya ia muntahkan !” (HR. Muslim)

Rahasia Medis

Dr. Abdurrazzaq Al-Kailani berkata: “Minum dan makan sambil duduk, lebih sehat,lebih selamat, dan lebih sopan, karena apa yang diminum atau dimakan oleh seseorang akan berjalan pada dinding usus dengan perlahan dan lembut. Adapun minum sambil berdiri, maka ia akan menyebabkan jatuhnya cairan dengan keras ke dasar usus, menabraknya dengan keras, jika hal ini terjadi berulang-ulang dalam waktu lama maka akan menyebabkan melar dan jatuhnya usus, yang kemudian menyebabkan pernah sekali minum sambil disfungsi pencernaan. Adapun Rasulullah berdiri, maka itu dikarenakan ada sesuatu yang menghalangi beliau untuk duduk, seperti penuh sesaknya manusia pada tempat-tempat suci, bukan merupakan kebiasaan. Ingat hanya sekali karena darurat!

Begitu pula makan sambil berjalan, sama sekali tidak sehat, tidak sopan, tidak etis dan tidak pernah dikenal dalam Islam dan kaum muslimin.

Dr. Ibrahim Al-Rawi melihat bahwa manusia pada saat berdiri, ia dalam keadaan tegang, organ keseimbangan dalam pusat saraf sedang bekerja keras, supaya mampu mempertahankan semua otot pada tubuhnya, sehingga bisa berdiri stabil dan dengan sempurna. Ini merupkan kerja yang sangat teliti yang melibatkan semua susunan syaraf dan otot secara bersamaan, yang menjadikan manusia tidak bisa mencapai ketenangan yang merupakan syarat tepenting pada saat makan dan minum.

Ketenangan ini bisa dihasilkan pada saat duduk, dimana syaraf berada dalam keadaan tenang dan tidak tegang, sehingga sistem pencernaan dalam keadaan siap untuk menerima makanan dan minum dengan cara cepat.

Dr. Al-rawi menekankan bahwa makanan dan minuman yang disantap pada saat berdiri, bisa berdampak pada refleksi saraf yang dilakukan oleh reaksi saraf kelana (saraf otak kesepuluh) yang banyak tersebar pada lapisan endotel yang mengelilingi usus. Refleksi ini apabila terjadi secara keras dan tiba-tiba, bisa menyebabkan tidak berfungsinya saraf (Vagal Inhibition) yang parah, untuk menghantarkan detak mematikan bagi jantung, sehingga menyebabkan pingsan atau mati mendadak. Begitu pula makan dan minum berdiri secara terus –menerus terbilang membahayakan dinding usus dan memungkinkan terjadinya luka pada lambung. Para dokter melihat bahwa luka pada lambung 95% terjadi pada tempat-tempat yang biasa bebenturan dengan makanan atau minuman yang masuk.

Air yang masuk dengan cara duduk akan disaring oleh sfringer. Sfringer adalah suatu struktur maskuler (berotot) yang bisa membuka (sehingga air kemih bisa lewat) dan menutup. Setiap air yang kita minum akan disalurkan pada ‘pos-pos’ penyaringan yang berada di ginjal. Nah. Jika kita minum berdiri air yang kita minum tanpa disaring lagi. Langsung menuju kandung kemih. Ketika langsung  menuju kandung kemih, maka terjadi pengendapan disaluran ureter. Karena banyak limbah-limbah yang menyisa di ureter.

Inilah yang bisa menyebabkan penyakit kristal ginjal. Salah satu penyakit ginjal yang berbahaya. Susah kencing itu penyebabnya. Sebagaimana kondisi keseimbangan pada saat berdiri disertai pengerutan otot pada tenggorokan yang menghalangi jalannya makanan ke usus secara mudah, dan terkadang menyebabkan rasa sakit yang sangat yang mengganggu fungsi pencernaan, dan seseorang bisa kehilangan rasa nyaman saat makan dan minum. Oleh karena itu marilah kita kembali hidup sehat dan sopan dengan kembali ke pada adab dan akhlak Islam, jauh dari sikap meniru-niru gaya orang-orang yang tidak mendapat hidayah Islam. [] dari berbagai sumber

RUU Ormas Mengancam Umat Kembalinya Pemerintahan Represif


RUU Ormas Mengancam Umat
Kembalinya Pemerintahan Represif


Kengototan DPR dan Pemerintah untuk segera mengesahkan RUU Ormas menjadi UU paling lambat akhir Maret 2013 ini menimbulkan banyak tanda tanya. Ada kepentingan apa sehingga DPR dan Pemerintah begitu ngototnya? Padahal banyak RUU yang mangkrak. Apalagi banyak sekali penolakan terhadap RUU Ormas di masyarakat. Pada 8 Februari 2013 lalu, sebanyak 96 organisasi yang tergabung dalam KASBI menyatakan penolakan terhadap RUU Orams dan menuntut agar RUU itu dicabut dan dihentikan pembahasannya.
Jika dicermati dari draft RUU Ormas versi (bahan rapat panja 9 Februari dan bahan panja 18 Februari 2013) yang hendak disahkan oleh DPR menyimpan ancaman dan bahaya bagi rakyat khususnya umat Islam. RUU ini jika disahkan bisa dijadikan alat represi baru alat Orde Baru, bisa dijadikan alat membungkam perjuangan umat Islam, mengebiri peran umat di masyarakat. Disamping itu juga akan menimbulkan masalah hukum dalam implementasinya.
Diantara masalah yang terkandung dalam RUU Ormas itu adalah:

1.        RUU Ormas ini sarat dengan spirit represif.
Sangat terasa adanya keinginan atau bahkan nafsu represi untuk mengekang masyarakat. Hal itu dituangkan dalam definisi Ormas, asas, syarat pendaftaran, pengaturan bidang kegiatan, larangan dan sanksinya.

2.        RUU ini ingin menghidupkan kembali trauma fitnah Orde baru melalui asas tunggal.
RUU ini (versi bahan panja 18 Februari) mengharuskan semua Ormas tanpa kecuali untuk berasaskan Pancasila. Keinginan pengasastunggalan itu disamarkan dengan tambahan baha Ormas boleh mencatumkan asas lain yang tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Dalam pasal 2 dinyatakan: “Asas Ormas adalah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, serta dapat mencantumkan asas lainnya yang tidka bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.” Ini adalah kemunduran dari draft awal yang menyatakan pada pasal yang sama: “asas Ormas tidak boleh bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonsia 1945.” Padahal asas tunggal itu telah menimbulkan trauma bagi masyarakat. Ketetatapan penentuan asas Ormas itu artinya menghidupkan kembali spirit asas tunggal yang dahulu dijdikan alat oleh Orde Baru utnuk mengekang masyarakat. Padahal sejak reformasi spirit itu sudah dibatalkan oleh TAP MPR no. XVIII/1978 yang membatalkan TAP MPR no. II/1978 yang menghidupkan spirit asas tunggal. Maka dengan mengembalikan spirit asas tunggal, itu adalah butki DPR dan Pemerintah masih menyimpan spirit represi atau bahkan memang ingin kembali bertindak represif seperti Orde Baru. Hal itu juga akan kembali membangkitkan trauma masyarakat dan fitnah akibat asas tunggal itu bisa saja terulang kembali. Juga bahwa itu merupakan kemunduran dari reformasi.

3.        RUU ini mengandung kesan “pembalasan” terhadap Ormas.
UU Parpol, tidak secara jelas mengusung spirit asas tunggal. Kenapa RUU Ormas justru mengusung spirit asas tunggal itu ala Orba? Apakah ini menjadi semacam “pembalasan” Partai Politik terhadap Ormas yang selama ini bersikap kritis terhadap Parpol, DPR dan Pemerintah?

4.        Definisi Ormas yang sangat umum mencakup semua organisasi di masyarakat.
Pada pasal 1 ayat 1 dinyatakan definisi Ormas adalah: “…“…organisasi yang didirikan dan dibentuk oleh masyarakat secara sukarela berdasarkan kesamaan aspirasi, kehendak, kebutuhan, kepentingan, kegiatan, dan tujuan untuk berpartisipasi dalam pembangunan demi tercapainya tujuan NKRI yang berdasarkan Pancasila”. Definisi ini akan memasukkan semua organisasi di masyarakat (kecuali Parpol dan organisasi sayap Parpol) bersifat sosial atau nonprofit, asosiasi atau perkumpulan keilmuan/profesi/hobby baik beriuran ataupun tidak, pengajian, paguyuban keluarga, yayasan yang mengelola lembaga pendidikan dan rumah sakit, panti asuhan, dan masih banyak lagi. Ini menunjukkan keinginan untuk mengontrol hampir semua dinamika organisasi di masyarakat. Hal itu akan tampak jelas ketika cakupan definisi ini dihubungkan dengan ketentuan pendaftaran ormas, pengawasan ormas, sanksi dsb.

5.        RUU deskriminatif.
Jika definisi Ormas serba mencakup dan menunjukkan keinginan agar tidak ada organisai di masyarakat yang luput dari kontrol, sebaliknya RUU Ormas itu justru mengecualikan organisasi sayap Parpol. Pada Pasal 4 yang dikatakan“Ormas bersifat sukarela, sosial, mandiri, nirlaba, demokratis, dan bukan merupakan organisasi sayap partai politik”. RUU Ormas akan mengatur Ormas dengan sangat detil, tentang pendirian, tata kelola internal, akuntabilitas dan transparansi, larangan, hingga sanksi. Sangat jauh berbeda dengan pengaturan organisasi sayap partai politik hanya disebut dalam satu kalimat di dalam UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik: “Partai politik berhak….membentuk dan memiliki organisasi sayap partai” (Pasal 12 huruf j). Lantas, mengapa organisasi sayap partai politik dikecualikan secara eksplisit dari RUU Ormas? Dengan dikecualikan, artinya organisasi sayap parpol tidak diatur dengan RUU ini. Namun pada saat yang sama, organisasi sayap parpol itu tidak bisa dianggap sebagai parpol dan terhadapnya juga tidak bisa diberlakukan UU Parpol. Lalu aturan apa yang secara spesifik mengatur organisasi sayap parpol. RUU Ormas tidak, UU Parpol tidak, UU Yayasan tidak, UU Perseroan tidak.

6.        RUU Ormas membungkam sikap kritis
Pasal 7 tentang bidang kegiatan Ormas, tidak ada bidang politik. Itu artinya Ormas tidak boleh melakukan kegiatan dibidang politik. Politik dalam KBBI diantaranya diartikan “1. segala urusan dan tindakan (kebijakan, siasat, dsb) mengenai pemerintahan negara atau terhadap negara lain; 2. kebijakan; cara bertindak (dalam menghadapi atau menangani suatu masalah).” Dengan begitu sama artinya, Ormas tidak boleh melakukan aktifitas politik, tidak boleh mengkritisi kebijakan pemerintah, tidak boleh demonstrasi mengkritisi kebijakan pemerintah, dan aktifitas-aktifitas politik lainnya.

7.        RUU Ormas untuk akuntabilitas Ormas?
Pasal 38 (2): keuangan Ormas sebagaimana dimaksud ayas (1) harus dikelola secara transparan dan akuntabel. Lalu Pasal 39 (1): Dalam hal Ormas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1) huruf a dan huruf b menghimpun dan mengelola dana dari anggota dan masyarakat, Ormas wajib membuat laporan pertanggungjawaban keuangan sesuai dengan standar akuntansi secara umum atau sesuai dengan AD dan/atau ART.
Pasal ini tidak menjelaskan, laporan pertanggungjawaban yang wajib dibuat itu diserahkan kepada siapa? Jika harus diserahkan kepada Pemerintah, mau diapakan oleh pemerintah, apa konsekuensi dari laporan itu jika diserahkan kepada pemerintah? Jika dana itu dari APBN, APBD atau asing wajar saja harus dilaporkan pertanggungjawabannya kepada Pemerintah. Tapi jika berasal dari anggota, untuk apa harus dilaporkan kepada pemerintah?
Jika begitu, benarkah RUU ini untuk transparansi dan akuntabilitas Ormas? Apakah belum ada aturan yang mengatur tentang transparansi dan akuntabilitas Ormas sehinggaharus dibuat aturan tentang hal itu? Bukankah sudah ada aturan terkait yayasan di dalam UU tentang Yayasan? Juga sudah ada aturan di UU Keterbukaan Informasi Publik.

8.        Persyaratan Administrasi Menjadi Instrumen Penghambat Keleluasaan Berserikat dan Berkumpul.
Ada pasal 16 diatur bawha Ormas tidak berbadan hukum harus mendapatkan Surat Keterangan Terdaftar (SKT) dari Pemerintah (Menteri, Gubernur, atau Bupati/Walikota) agar bisa menjalankan aktivitasnya. Sementara untuk mendapatkan selembar SKT, Ormas harus memenuhi persyaratan administrasi seperti memiliki AD/ART atau akta pendirian yang dikeluarkan oleh notaris yang memuat AD/ART, program kerja, kepengurusan, surat keterangan domisili, Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atas nama Ormas, surat pernyataan bukan organisasi sayap partai politik, surat pernyataan tidak dalam sengketa kepengurusan/perkara pengadilan, dan surat pernyataan kesanggupan melaporkan kegiatan. Masalahnya, cakupan definisi Ormas begitu luas. Dengan ketentuan ini, maka semua organisasi (kumpulan orang yang berkelompok yang didalamnya ada pengurus betapapun sederhana strukturnya) harus memiliki SKT. Itu rtinya, kelompok arisan, majelis taklim, paguyuban dan organisasi lainnya harus mendapat SKT untuk bisa beraktifitas. Jika tidak punya SKT maka tidak boleh melakukan kegiatan. Ketentuan ini selah mengatakan, silahkan berserikat dan berkumpul asal memiliki SKT yang ditentukan oleh Pemerintah. Jadi sama saja mengatakan, silahkan berserikat dan berkumpul asal mendapat persetujuan dari pemerintah.

9.        RUU ini meletakkan semua bentuk kegiatan berserikat dan berkumpul dibawah kontrol Pemerintah dalam hal ini Kesbangpol Kemendagri.
RUU ini membawa semua Organisasi baik berbadan hukum (yayasan dan perkumpulan) atau tidak berbadan hukum, dengan semua ragamnya, berada dalam kontrol dan pengawasan pemerintah (Kesbangpol Kemendagri). Pengawasan Pemerintah (Pasal 58) berupa pemantauan dan evaluasi. Selanjutnya hasil pemantauan dan evaluasi itu akan dijadikan dasar tindakan terhadap Ormas. Jika melanggar larangan (Pasal 61) yang kriteria dan tolok ukurnya tidak jelas dan longgar, bisa dijatuhi sanksi oleh pemerintah tanpa harus melalui putusan pengadilan. Itu artinya, semua organisasi di masyarakat akan dikontrol oleh pemerintah agar bisa sesuai dengan keinginan Pemerintah. Ini akan mengembalikan kontrol dan represi Orba yang sudah susah payah direformasi.

10.    RUU Ormas Memuat Pasal Serangkaian Larangan yang Multitafsir (Pasal 61)
RUU Ormas memuat serangkaian larangan multi tafsir dengan tolok ukur dan kriteria yang tidak dijelaskan batasannya. Hal itu berpeluang untuk disalahgunakan sesuai selera penguasa.
Pasal 61 (3) c: “Ormas dilarang menerima sumbangan berupa uang, barang, ataupun jasa dari pihak mana pun tanpa mencantumkan identitas yang jelas. Pasal larangan ini mengancam keberadaan organisasi sosial dan organisasi keagamaan semisal yayasan yatim piatu, panti suhan, yang biasa menerima donasi tanpa identitas jelas. Pada sisi lain, sangat banyak anggota masyarakat yang ketika memberikan donasi tidak mau mencantumkan nama asli dengan alasan tertentu. Dengan larangan ini, kegiatan pengumpulan donasi di jalan-jalan misalnya untuk membantu korban bencana, untuk membangun fasilitas umum, masjid dan sebagainya, tidak bisa lagi dilakukan kecuali pemberi donasi mencatumkan identitas yang jelas. Larangan ini akan bisa mematikan jiwa filantropi masyarakat Indonesia.
Berikutnya, kegiatan yang membahayakan keutuhan dan keselamatan NKRI; menyebarkan permusuhan antrasuku, agama, ras dan golongan; memecahbelah persatuan dan kesatuan bangsa; mengganggu ketertiban; srianya, dan siapa yang memutuskan? Dalam RUU Ormas tidak jelas. JIka dikaitkan dengan pasal 58 tentang bentuk pengawasan oleh Pemerintah dan pasal 62 tentang sanksi, dapat dipahami bahwa smeua itu tergantung kepada Pemerintah. Jika demikian, sikap kritis kepada pemerintah, Ormas yang membongkar kejahatan negara, dan sebagainya bisa dianggap membahayakan keselamatan negara; atau dianggap melakukan kegiatan yang mengancam, mengganggu, dan/atau membahayakan keutuhan dan kedaulatan NKRI.
Pasal 61 (6) “Ormas dilarang melakukan kegiatan apabila tidak memiliki seurat pengesahan badan hukum atau tidak terdaftar pada pemerintah atau pemerintah daerah.” Sementara Ormas yang tidak memenuhi syarat menapat SKT harus memberitahukan keberadaannya kapada pemerintahan setempat sesuai domisilinya. Lalu apa artinya memberitahukan keberadaannya kalau tidak boleh beraktifitas?

11.    Pemerintah Memegang Kekuasaan Menjatuhkan Sanksi Bagi Ormas (Pasal 62-63)
Kekuasaan menjatuhkan sanksi berada di tangan pemerintah (atau pemerintah daerah), mulai dari sanksi administratif berupa surat peringatan tertulis, penghentian bantuan atau hibah, hingga sanksi penghentian kegiatan (sementar) dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun, pencabutan SKT, dan pencabutan pengesahan badan hukum. Peradilan baru dilibatkan oleh pemerintah (atau pemerintah daerah) pada saat menjatuhkan sanksi pembubaran ormas berbadan hukum. Selain hal itu, semuanya tergantung pada pemerintah. Ini membuka peluang disalah gunakan demi kekuasaan dan bisa melahirkan kembali represi pemerintah, sebab semua itu dikaitkan dengan larangan pada pasal 61 yang tolok ukur dan kriterianya sangat longgar dan bisa tergantung pada selera pemerintah.

Dengan demikian, RUU Ormas itu akan menjadi ancaman bagi umat. Juga kan menjadi pintu kembalinya pemerintahan otoriter, pemerintahan represif. Fitnah-fitnah terhadap Ormas dan kelompok masyarakat yang pernah terjadi pada masa Orde Baru yang telah menimbulkan trauma di masyarakat mungkin sekali akan kembali. Atas dasar semua itu, maka RUU Ormas ini harus dihentikan pembahasannya dan ditolak. Wallâh a’lam bi ash-shawâb. []

Senin, 25 Maret 2013

Cara Khilafah Menjaga Keutuhan Wilayah

Cara Khilafah Menjaga Keutuhan Wilayah

Oleh: Hafidz Abdurrahman
Khilafah adalah negara kaum Muslim di seluruh dunia. Umat Islam, dengan berbagai suku, bangsa dan bahasa pun hidup di dalamnya sebagai satu umat, satu agama dan satu bendera. Mereka hidup selama 14 abad dalam satu negara yang dipimpin oleh seorang Khalifah. Kondisi mereka memang mengalami pasang surut, seiring dengan maju dan mundurnya taraf berpikir mereka.
Islam telah mengajarkan kesatuan dan persatuan di tengah-tengah kaum Muslim. Karena itu, menjaga kesatuan dan persatuan ini pun hukumnya wajib bagi mereka. Hukum ini pun termasuk perkara yang sudah ma’lûmun min ad-dîn bi ad-dharûrah (diketahui urgensinya dalam ajaran Islam).
Allah berfirman, “Dan berpegang teguhlah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai. Ingatlah akan nikmat Allah kepadamu, ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, kemudian Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat-Nya orang-orang yang bersaudara, dan (ingatlah ketika) kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu darinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.” (Q.s. Ali ‘Imran [3]: 103)
 Ayat ini bukan hanya berisi perintah untuk menjaga kesatuan dan persatuan, tetapi juga melarang bercerai berai. Menjaga kesatuan dan persatuan di sini bukan hanya terkait dengan individu, tetapi juga kesatuan dan persatuan wilayah. Ini ditegaskan oleh Nabi SAW, “Jika telah dibaiat dua khalifah, maka bunuhlah yang terakhir di antara keduanya.” (HR. Muslim dari Abî Sa’îd al-Khudrî, no 3444).
 Satu Akidah, Satu UUD dan UU
Di satu sisi, Islam menjaga kesatuan dan persatuan, dan melarang perpecahan, pada saat yang sama, Islam tidak mengacuhkan potensi perbedaan dan perselisihan yang bisa menghancurkan kesatuan dan persatuan. Karena itu, Islam menetapkan akidah Islam sebagai dasar negara. Dari akidah Islam inilah, UUD dan UU yang digunakan untuk menyelenggarakan negara dibangun.
Dalam penyusunan UUD dan UU, Islam menetapkan sebagai hak Khalifah. Hukum syara’ yang diadopsi oleh Khalifah ini sekaligus untuk menghilangkan perselisihan yang berpotensi merusak kesatuan dan persatuan. Kaidah fiqih menyatakan, “Perintah imam (Khalifah) bisa menghilangkan perselisihan.” Karena itu, dengan adanya tabanni Khalifah dalam penyusunan UUD dan UU ini, berarti potensi perselisihan, akibat perbedaan pendapat, dengan sendirinya bisa diselesaikan.
Selain itu, Islam juga menetapkan, “Jika kalian berselisih dalam suatu perkara, maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul.” (QS an-Nisa’ [4]: 59). Ketetapan ini berlaku, jika perselisihan tersebut terjadi antara rakyat dengan Khalifah (negara), dan antara rakyat dengan rakyat. Semuanya ini dikembalikan kepada Allah dan Rasul, atau Alquran dan Sunnah. Teknisnya kembali kepada hukum syara’. Untuk kembali kapada hukum syara’ membutuhkan institusi, yaitu mahkamah, baik Khushûmât maupun Madzâlim.
Untuk menjaga keberlangsung dalam pelaksanaan UUD dan UU agar tetap dalam rel syariah, maka Khalifah dibaiat untuk menjalankan Kitab Allah dan Sunah Rasulullah (hukum syara’). Inilah yang menjadi dasar ketaatan rakyat kepada Khalifah. Ubadah bin Shamit menuturkan, “Kami dibaiat oleh Rasulullah untuk taat dan mendengar (titah baginda)..” (HR Muslim). Nabi juga menegaskan, “Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam melakukan maksiat kepada Khaliq (Allah).” (HR at-Tirmidzi dan Ahmad)
Larangan Bughat dan Merebut Kekuasaan
Persatuan dan kesatuan negara dijaga oleh Islam, antara lain, dengan ditetapkannya larangan melakukan makar (bughat) dan memisahkan diri dari kekhilafah. Nabi bersabda, “Siapa saja mencabut ketaatan (kepada imam/khalifah), maka dia akan menghadap Allah tanpa hujah (yang bisa mendukungnya).” (HR Muslim)
Bahkan, “Larangan merebut kekuasaan dari pemangkunya” ini telah dijadikan syarat oleh Nabi dalam menerima baiat kaum Muslim. Ubadah bin Shamit menuturkan, “Hendaknya kami tidak merebut kekuasaan dari pemangkunya.” Kecuali, kata Nabi, “Jika kalian menyaksikan kekufuran yang nyata, yang bisa kalian buktikan di hadapan Allah.” (HR Muslim)
Jika larangan tersebut dilanggar, maka Islam menetapkan sanksi yang tegas bagi siapa saja yang melakukan tindakan makar terhadap negara (bughat). Al-Muhâmî al-‘Alim Syaikh ‘Abdurrahman al-Mâliki, dalam kitabnya Nidzâm al-‘Uqûbât, menjelaskan bahwa sanksi bagi mereka adalah had. Sanksi had ahl al-baghy adalah diperangi, sebagai pelajaran (qitâl ta’dîb) bagi mereka, bukan diperangi untuk dihabisi (qitâl harb) (al-Mâliki, Nidzâm al-‘Uqûbât, hal. 79).
Jika mereka adalah non-Muslim (ahli dzimmah), maka mereka akan diperangi untuk dihabisi (qitâl harb). Hukum memerangi mereka ini pun statusnya sama dengan jihad fi sabilillah, karena kelompok yang diperangi adalah orang-orang kafir, meski asalnya adalah ahli dzimmah. Dengan tindakan mereka ini, dengan sendirinya, mereka juga telah kehilangan dzimmah-nya dari kaum Muslim (negara Khilafah).
Qadhiyyah Mashîriyyah
Menjaga persatuan dan kesatuan Khilafah adalah kewajiban, dan memisahkan diri dari Khilafah adalah keharaman yang telah dinyatakan dengan tegas dalam Islam. Karena itu, tidak hanya sanksi yang tegas, Islam bahkan menetapkan masalah ini sebagai qadhiyyah mashîriyyah bagi negara dan kaum Muslim.
Qadhiyyah mashîriyyah yang dimaksud di sini adalah permasalahan yang harus diselesaikan dengan taruhan hidup dan mati (ijrâ’ al-hayâh aw al-maut). Inilah menjadi alasan terjadinya Perang Shiffin, ketika Khalifah yang sah, yaitu Sayyidina ‘Ali ra mengerahkan pasukannya untuk memerangi Mu’awiyah, yang ketika itu berstatus sebagai Wali Syam.
Khalifah al-Mu’tashim, pada zaman Khilafah Abbasiyyah, juga melakukan hal yang sama. Setelah menaklukkan Amuriyah, al-Mu’tahsim mengerahkan pasukannya untuk memerangi Abdurrahman ad-Dakhil di Spanyol. Karena dianggap memisahkan Spanyol ini dari wilayah Khilafah Abbasiyyah.
Hanya saja, tindakan militer dalam menjaga keutuhan wilayah Khilafah ini bukan satu-satunya tindakan yang harus diambil oleh negara. Karena itu, Khalifah harus memperhatikan aspek lain, yaitu pendekatan politik. Tindakan tegas negara memang diperlukan, tetapi jika tidak disertai pendekatan politik, maka justru yang terjadi bisa sebaliknya. Contohnya lepasnya wilayah Balkan pada zaman Khilafah Utsmaniyyah.
Gerakan separatisme di Balkan saat itu terjadi karena provokasi dari negara-negara kafir Eropa. Menghadapi tindakan tersebut, Khilafah Utsmaniyyah menindaknya dengan tindakan militer. Padahal, seharusnya saat itu negara bisa membongkar rencana jahat kaum kafir terhadap penduduk setempat, dan mempropagandakan bahasa separatisme kepada mereka. Menggunakan pengaruh ahl al-halli wa al-‘aqdi setempat untuk memadamkan api separatisme. Tetapi itu tidak dilakukan, karena lemahnya pemikiran penyelenggara negara saat itu. Karena itu, begitu diambil tindakan militer, bukannya api separatisme padam, justru semakin berkobar.
Hizbut Tahrir mempunyai pengalaman, saat Yaman menghadapi skenario Amerika di tahun 1990-an. Ketika Amerika hendak memisahkan Yaman Utara dengan Selatan. Saat itu, Hizbut Tahrir membongkar rencana jahat ini, dan menyerukan kepada ahl al-halli wa al-‘aqdi setempat untuk memadamkan api ini. Alhamdulillah, dengan izin dan pertolongan Allah, upaya itu berhasil. Yaman pun tetap utuh hingga sekarang.
Pengalaman berbeda terjadi di Sudan, ketika Sudah Selatan terus-menerus diprovokasi untuk memisahkan diri dari Sudan. Meski berbagai upaya telah dilakukan oleh Hizbut Tahrir di sana, tetapi mereka tidak hirau. Akhirnya terjadilah apa yang terjadi, sebagaimana yang kita saksikan hari ini. Hal yang sama juga terjadi di Indonesia, saat Timor Timur lepas dari pangkuan negeri ini. Semua ini terjadi, karena lemahnya kesadaran politik penyelenggara negara, dan rakyatnya.
Menutup Pintu
 Semuanya tadi terkait dengan tindakan kuratif yang bisa dilakukan oleh negara. Namun, selain tindakan kuratif, Islam juga menetapkan berbagai upaya preventif untuk mencegah terjadinya tindakan sparatisme ini:
1-       Memata-matai Kafir Harbi fi’lan: Mereka adalah warga negara kafir yang terlibat peperangan atau memusuhi kaum Muslim. Keberadaan mereka di negeri kaum Muslim hanya diperbolehkan dengan visa khusus, meski tidak menutup kemungkinan mereka memanfaatkan izin tinggalnya untuk melakukan berbagai kontak dan memprovokasi penduduk setempat. Mereka wajib dipantau, bahkan dimata-matai.
2-     Memata-matai ahli ar-Raib: Mereka ini adalah warga negara Khilafah yang berinteraksi dengan warga negara Kafir Harbi fi’lan, dan diduga melakukan tindakan yang bisa membahayakan negara, termasuk separatisme.
3-    Menutup kedutaan negara-negara Kafir Harbi hukman yang dijadikan untuk memata-matai Khilafah. Adapun kedutaan negara-negara Kafir Harbi fi’lan, seperti AS, Inggris, Perancis, Rusia, Israel, dan lain-lain, sama sekali tidak boleh ada. Karena status mereka yang sedang berperang dengan kaum Muslim.
4-    Menutup kontak, hubungan dan kerja sama warga negara Khilafah dengan pihak luar negeri. Dalam hal ini, Khilafah akan menerapkan kebijakan satu pintu, yaitu Departemen Luar Negeri.
Inilah beberapa ketentuan Islam yang bersifat preventif terhadap berbagai gerakan separatisme. Wallahu a’lam.

Inggris dan AS Khawatir Senjata Kimia Suriah Jatuh Ke Tangan Kelompok Pejuang Islam

Inggris dan AS Khawatir Senjata Kimia Suriah Jatuh Ke Tangan Kelompok Pejuang Islam

Kemungkinan jatuhnya senjata kimia Suriah jatuh ke tangan kelompok Islamis yang berperang di negara itu adalah puncak kekhawatiran bagi Barat.
Jenderal Sir David Richards, Kepala Staf Angkatan Bersenjata Inggris, telah mengutarakan kekhawatirannya di Whitehall dalam beberapa pekan terakhir dan telah terjadi serangkaian pertemuan atas masalah ini diantara para pejabat Eropa dan Amerika dan pemerintahan di wilayah tersebut.
Kemungkinan Presiden Bashar al-Assad menggunakan senjata tersebut adalah salah satu alasan utama bagi penyebaran rudal-rudal Patriot NATO minggu ini di perbatasan Turki.
Akhir tahun lalu Barack Obama memperingatkan bahwa rezim Assad akan menanggung akibatnya jika senjata itu digunakan. Rezim tampaknya berhenti mempersiapkan serangan tersebut dan Menteri Pertahanan Leon Panetta menyatakan bahwa ancaman telah berkurang.
Meskipun pemerintah AS dan Inggris masih menganggap bahwa rezim yang terkepung pada akhirnya akan menggunakan senjata pemusnah massal (WMD) ada juga bahaya senjata itu jatuh ke tangan para pejuang. Pemerintahan Obama telah menganggap Brigade Al-Nusra, salah satu kelompok pejuang yang terkuat sebagai organisasi teroris yang berafiliasi dengan al-Qaeda,.
Sebuah tim SAS telah hadir sebagai pengamat latihan yang dilakukan oleh pasukan AS dan pasukan khusus Yordania khusus dalam persiapan operasi apapun yang mungkin harus dilakukan untuk mengamankan stok senjata kimia itu. Sumber-sumber pertahanan di London menyatakan tidak ada rencana saat ini untuk menyebarkan personil militer Inggris untuk misi tersebut.
Para pejabat Barat bersikeras bahwa ada banyak bukti bahwa rezim Damaskus memiliki sarana untuk melaksanakan perang kimia dan juga bukti bahwa mereka memiliki program senjata biologi. Salah satu penyebab kekhawatiran adalah bahwa kontrol rezim bagi WMD telah menjadi sangat rusak parah karena perang dan pembelotan.
Serangkaian pertemuan telah terjadi yang melibatkan para personil militerAmerika Serikat, Perancis, negara-negara di kawasan itu dan PM Israel, Benjamin Netanyahu, menurut laporan media di Yerusalem, bertemu dengan Raja Abdullah II dari Yordania di Amman untuk membahas masalah ini. Salah satu aspek yang menjadi perhatian Israel adalah bahwa Hizbullah, yang sebagian pejuangnya berjuang bagi rezim Assad, mungkin dapat menyelundupkan senjata kimia ke Lebanon.
Kerentanan senjata kimia diyakini telah dibahas di antara para pejabat Amerika dan Rusia pada sejumlah kesempatan. Menteri Luar Negeri Rusia, Sergey Lavrov, kemudian menyatakan bahwa stok bahan kimia yang disimpan dalam dua pusat penyimpanan akan menjadi senjata “bunuh diri” yang digunakan oleh rezim Assad.
Jenderal Adnan Sillu, mantan kepala program senjata kimia Suriah yang telah membelot, mengklaim bahwa rezim telah menggunakan gas Sarin dalam serangan bulan lalu di distrik Al-Bayyadh di Homs. Tentara Pembebasan Suriah menyatakan bahwa rezim telah menggunakan senjata kimia pada 18 kesempatan terpisah. Namun, para pejabat Barat mengatakan bahwa foto-foto dan kesaksianyang mereka terima tidak mendukung tuduhan itu.
Program senjata biologi Suriah kurang diketahui dibandingkan senjata kimianya. Dr Leivesley, seorang penasihat ilmiah dan konsultan industry swasta serta pemerintah mengatakan: “Laporan program senjata biologi Suriah berasal dari pertengahan tahun 90-an dan ada laporan kepada Kongres AS pada tahun 2004 dan NATO.
Menurut Dr Leivesley senjata biologi Suriah mungkin dimulai secara kebetulan daripada direncanakan oleh rezim maupun pemberontak. “Patogen seperti anthrax, wabah, tularemia, botulinium, cacar, aflotoxin, kolera, dan risin dapat terkena kepada orang-orang pada basis yang kurang aman. Jika hal ini terjadi kemungkinannya pandemi akan sangat sulit dikontrol” katanya. (rz/independent.co.uk, 9/1)