Tolaklah Kejahatan dengan Yang Lebih Baik
Oleh : Felix Siauw
Sering kesal karena anda adalah pejalan kaki dan penikmat angkot harian, lalu menemukan angkot langganan anda ngetem lama hingga mengganggu jadwal yang sudah anda usahakan ditepati? Atau anda pengguna kendaraan roda dua atau empat yang hampir celaka lalu lintas karena angkot tetiba berhenti didepan mata, parkir di dua lajur diantara tiga lajur jalan, atau mengambil-menurunkan penumpang ditengah marka?
Sering kesal karena anda adalah pejalan kaki dan penikmat angkot harian, lalu menemukan angkot langganan anda ngetem lama hingga mengganggu jadwal yang sudah anda usahakan ditepati? Atau anda pengguna kendaraan roda dua atau empat yang hampir celaka lalu lintas karena angkot tetiba berhenti didepan mata, parkir di dua lajur diantara tiga lajur jalan, atau mengambil-menurunkan penumpang ditengah marka?
Anda tidak sendiri, saya rasa jutaan orang berpendapat yang sama.
Di republik ini —saya nggak tahu di tempat lain—, kesewenang-wenangan
memang merajalela. Tiada peduli kaya ataupun miskin. Bila yang kaya
seolah boleh sombong karena kekayaannya, maka yang miskin juga merasa
yang sama. Karena merasa dirinya ‘wong cilik‘ atau ‘orang susah’ jadi seolah-olah menjustifikasinya melakukan apa saja semaunya, merasa punya hak untuk dzalim.
Karena susah, lantas merasa pantas untuk meminta-minta, boleh untuk
bertindak semaunya, layak untuk berbuat seenaknya. Ini betul-betul
mental yang buruk, tiada bedanya dengan orang kaya yang sombong karena
hartanya.
Bila yang kaya memarkir kendaraannya sembarang tempat dengan legitimasi
‘kekayaannya’, maka yang miskin pun tak mau kalah dengan memarkir
kendaraannya disembarang tempat karena legitimasi ‘kemiskinannya’.
Tampaknya kita sudah mulai kehilangan rasa malu.
Bila yang kaya membuang sampah sembarangan karena merasa sudah
‘membayar’, maka yang miskin pun tidak mau kalah dengan membuang sampah
sembarangan karena merasa ‘tidak mampu membayar’
Karena anda ‘wong cilik‘ atau ‘wong susah’, tidak lantas anda boleh merasa arogan.
Tapi itulah yang terjadi pada ummat Muslim di negeri ini. Seolah arogan
menjadi boleh jika kita merasa tertindas, merasa kecil. Atau lebih
tepatnya, merasa boleh bermaksiat sebagai balasan atas terdzaliminya
diri kita.
Membalas yang serupa, atau yang lebih daripadanya. Mungkin ini mental
buruk yang masih kita simpan, penanda hati yang mulai membusuk.
Seorang sopir angkot mungkin —mungkin— menganggap tindakannya
ugal-ugalan di jalan, parkir dan ngetem memakan seluruh badan jalan,
adalah tindakan yang benar. Sebagai balasan atas tertindasnya dirinya.
Sama seperti orang kaya yang memarkir sembarangan kendaraan mewahnya
karena merasa itu adalah balasan atas pajak yang dia bayarkan.
Perilakunya berdasar ide yang sama. Membalas.
Lucunya, perilaku ini bahkan hadir ditengah kelompok manusia istimewa
diantara yang teristimewa, ialah pengemban dakwah. Seringkali diantara
kita merasa boleh berkata kasar pada yang lainnya, mencela dan memaki
tanpa henti, mengolok-olok dan mencaci. Hanya karena kita merasa sudah
didzalimi.
Membalas yang sepadan, kalau bisa lebih menyakitkan. Bukankah itu idenya?
Padahal Allah telah ingatkan kita dalam Al-Qur’an dengan sebuah nasihat yang berlaku hingga akhir zaman
وَلا تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلا السَّيِّئَةُ ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ
أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ
وَلِيٌّ حَمِيمٌ وَمَا يُلَقَّاهَا إِلا الَّذِينَ صَبَرُوا وَمَا
يُلَقَّاهَا إِلا ذُو حَظٍّ عَظِيمٍ
Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang diantaramu dan dia ada permusuhan, seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar. (TQS Fushilat [41]: 34-35)
Tidak akan selesai dengan kebaikan orang-orang yang membalas kejahatan
dengan sepadan atau dengan yang lebih menyakitkan. Jelas itu bukan cara
Islam.
Membalas perlakuan serupa hanya menempatkan diri kita dalam tingkatan
yang sama rendahnya, bukan amal yang luhur sebagaimana digariskan
Islam, dan dicontohkan Rasulullah saw. Membalas perlakuan lebih
menyakitkan tidak akan memberikan sebuah penyadaran, bahkan justru
membuat mudharat yang lebih besar lagi.
Walau kita disakiti dan didzalimi oleh saudara seiman, hak saudara kita
tetap lisan yang baik dan amal yang indah dari kita. Tiada terkotori
oleh rasa dendam dan rasa ingin membalas. Wangi perbuatan inilah yang
diajarkan oleh Nabi saw pada ummatnya.
تعرض الأعمال كل يوم اثنين وخميس، فيغفر الله عزَّ وجلَّ في ذلك اليوم لكل
امرئ لا يشرك بالله شيئاً إلا امرأ كانت بينه وبين أخيه شحناء فيقول:
انظروا هذين حتى يصطلحا
Amal perbuatan diperlihatkan (dihadapan Allah) setiap hari senin dan kamis, kemudian pada hari itu Allah Azza wa Jalla mengampuni dosa setiap orang yang tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Kecuali orang yang terdapat diantara dia dan saudaranya sebuah permusuhan, Allah berfirman: “Tangguhkanlah dari kedua orang ini hingga keduanya berdamai” (HR Muslim)
Seseorang mencela Imam As Sya’bi, lalu As Sya’bi mejawab: “Bilamana
engkau berbohong, semoga Allah mengampunimu, namun bila engkau benar,
semoga Allah mengampuniku”
Tidak sulit “menolak kejahatan dengan cara yang lebih baik”. Karena
sesungguhnya syaitan bersemayam dalam tindakan kasar kepada sesama, dan
lisan buruk yang terucap dari lisan. Tanpa kita sadari amal kita
dibakar habis api hasud dan meninggalkan debu yang kelak disapu angin
waktu. Atau lebih parah lagi amal kita sudah disita ghibah dan
kata-kata kasar, meninggalkan kita dengan hutang dosa yang kelak
dibayar dengan menindihkan diri atas dosa orang lain. Tiada guna balas
membalas dalam keburukan. Tiada manfaat balas membalas bahkan dengan
yang lebih buruk.
Jadilah pemaaf. Jadilah orang yang bertanggung jawab atas diri kita.
Bukan pelaknat dan karenanya kita dicatat sebagai yang terlaknat.
Patut dicatat, pada saat Perang Uhud, kaum Muslim banyak yang gugur,
bahkan wajah Rasulullah terluka tersayat pedang. Darah bercucuran dan
satu gigi beliau tanggal terkena tombak musuh. Pada saat itu, ada
sebagian sahabat yang berkata, “Ya Rasulullah, berdoalah untuk
kebinasaan orang-orang musyrik.”
Dengan suara lirih menahan rasa sakit, beliau menjawab, “Tidak, aku
bukan tukang laknat. Sesungguhnya aku diutus sebagai pembawa rahmat” (HR Muslim)
Biarlah orang lain bertindak dzalim, maka tugas kita menasihati bukan
melaknati, memberikan keterangan bukan membalas yang sepadan,
menampilkan kebaikan bukan justru menyakitkan.
Dan bila urusan ‘balas-membalas keburukan ini bisa selesai’.
Mudah-mudahan karena kita lantas orang-orang terinspirasi. Dari yang
mulia hatinya karena mengemban Islam orang bisa mengambil tauladan.
Karenanya tersebarlah Islam, dan mulialah agama.
Akal bisa diajar dengan dalil, namun hati hanya dengan akhlak bisa
diambil. Bersikaplah mulia, dan mudah-mudahan Allah ganjar dengan
surga. [www.al-khilafah.org]
Follow @felixsiauw